Apa kabar, Nek?

Mentari masih bersembunyi manja dibalik sang mega. Hanya selendang selendang jingganya yang berani merayu pagi. Kristal-kristal embun pun serasa enggan meninggalkan pucuk dedaunan. Namun di sana di ujung tempat di pinggir jalan sana. Selalu ada raga yang tengah terbangun mengais rizkinya. Meski udara masih begitu nakal menusuk kulit, namun nenek tua dengan kulitnya yang keriput tak pernah mempedulikannya. Di atas bak sampah yang lembab dan bau ia masih mengorek-ngorek haknya. Mencari rizki di atas sisa sisa konsumsi manusia. Penciumannya mungkin sudah terbiasa dengan aroma busuk dan lalat lalat kotor. Ia tak pernah tau atau bahkan tak pernah mau tau bahwa disana di tempat ia mencari rizkinya terdapat beribu penyakit yang mampu menyerangnya. Ia hanya tak mau berpangku tangan meminta belas kasih dari yang lain. Baginya selama ia masih bisa bertahan hidup dengan rizki yang halal apapun itu asalkan perut dan kebutuhan hari ini terpenuhi. Nenek dengan usia senjanya selalu mampu melakukan apa yg orang lain tak bisa lakukan. Nenek tua itu selalu mampu memotivasi pagiku. Selamat pagi nek, ku harap Allah selalu memberikanmu kesehatan
-kisah nyata nenek pemulung tua di bangunan bekas terminal (03/2015)-

Comments

Popular posts from this blog

Resume Buku "Zero to Hero"